Jakarta - Dengan semangat mereka keluar dari gubuk-gubuk sempit lahan kosong tak terpakai, petak-petak kontrakan ibarat kotak korek api. Mereka duduk menunggu di halte, kadang meringkuk hingga malam ditemani batang-batang kretek dan gelas kopi. Ketika ada klakson mobil, mereka segera melompat dengan cangkulnya bagaikan kadal tanah menyergap mangsa.
Mereka menggali apa saja di kota. Sumur, kabel, gorong-gorong, menurunkan pasir dari truk-truk yang masuk kota, hingga menggali kuburan di pemakaman.
Kota gres saja dibenamkan senja. Halte di ujung jalan itu sepi. Orang-orang yang berdiri di sana sudah mendapatkan kendaraan. Ia berjongkok di tempatnya biasa menunggu, belasan meter dari halte itu.
Ia pertama kali datang dengan truk pengangkut pasir diajak dua orang kawannya yang sudah lama menggali, dari jalan-jalan yang berlubang hingga tiba di Pantura yang sibuk, lalu tiba di kota yang dilihatnya dari di kejauhan bagaikan seekor gurita raksasa yang bergerak di dasar lautan yang airnya hitam.
Tenang dan kalem ia masih menunggu. Tatapannya hanya memperhatikan kendaraan yang lewat alasannya yaitu dengan sekali lambaian saja dari seseorang di truk atau kendaraan beroda empat pribadi, maka beliau harus segera menyergap.
Sesekali beliau pernah diajak menggali kubur di pemakaman umum tak jauh dari kontrakannya. Kali pertama beliau menggali kubur rasanya sama saja dengan menggali got mampet. Pernah ada orang yang membutuhkan tenaganya menggali kubur untuk seekor anjing hitam besar yang kematiannya ditangisi banyak orang di sebuah rumah mewah, dikuburkan di halaman belakang dengan penghormatan terakhir.
Masih diingatnya terang beberapa waktu lalu, beberapa orang memperhatikannya dari dalam kendaraan beroda empat berwarna hitam, lalu salah seseorang melambaikan tangan memanggil, dan beliau pun cepat melompat. Di kendaraan beroda empat beliau disambut sesosok tubuh yang ditutupi kertas koran bersimbah darah, sudah jadi mayat.
Si mayat, kata mereka, yaitu orang yang keji. Mereka berutang lima puluh juta, bunganya tinggi berlipat, empatpuluh persen sebulan. Mayat lintah darat yang dijuluki insan paling keji. Di daerah yang cuek dan berkabut kendaraan beroda empat berhenti. Di sebuah vila renta beliau menggali sangat dalam, dan jenazah dikuburkan di situ. Beberapa hari beliau tak mampu memejamkan mata, tapi itulah pekerjaan yang didapat.
Ia setia menunggu di samping halte yang jarang dipakai itu, bergerak cepat menyergap rezekinya saat ada tangan melambai dari truk, atau dari kendaraan bagus yang berhenti perlahan tapi mencurigakan.
***
Senja, sebuah kendaraan beroda empat kelabu renta berhenti di seberang jalan. Ia cepat bangun saat tangan melambai. Tanpa kata kendaraan beroda empat kembali melaju setelah ia naik, lalu diam diselimuti cuek air conditioner. Tiba di sebuah rumah bagus berpagar tinggi ia dibawa masuk. Ia melihat ada sesosok tubuh lelaki berlumuran darah terjerembab di lantai, lalu mereka menyeretnya ke belakang. Darah memerah di lantai itu saat mereka menarik mayat.
Ia menggali kubur dengan cepat, bahkan dengan bunyi yang nyaris tak terdengar. Itu yaitu keahliannya. Tiba- tiba saja liang yang nyaman untuk mengubur jenazah telah siap.
Mayat yang hening itu lalu dimasukkan. Setelah tanah diurug ia membayangkan kantongnya akan segera penuh uang. Mereka tak perlu menyuruhnya tutup verbal menjaga rahasia. Mereka pasti sudah tahu, selain hebat menggali, orang-orang Sindang Laut juga orang yang pelit bicara.
"Marmer yang pecah ganti, rapikan lagi ibarat biasa, ada semen di garasi." Ia mengikuti saja apa perintah mereka.
"Kami antar bapak keluar. Ini," kata seorang wanita berbusana hitam yang wangi, dan menyodorkan amplop berisi segepok uang yang sebagian ujung- ujungnya menjulur berwarna merah.
Ia menggenggam amplop itu dengan perasaan meletup gembira. Ia pasti mampu pulang kampung, memancing di waduk, dan minum tuak aren bersama kawan- kawannya.
***
Meringkuk lagi di samping halte ditemani berbatang-batang kretek dan gelas kopi yang kering dirubungi semut, belum ada satu pun pekerjaan menggali semenjak beliau kembali. Sebuah kendaraan beroda empat berwarna hitam berhenti. Orang-orang dari dalam kendaraan beroda empat memperhatikannya serius sehingga ia urung menyergap. Tapi, kemudian seseorang memberi arahan panggilan.
"Kami akan merampok, membunuh dan menguburkannya sekaligus. Jika seminggu tidak tertangkap berair mayatnya, itu sudah bagus," kata salah seorang saat ia telah menghenyakkan punggungnya di mobil.
Merampok? Ia segera ingin turun.
"Santai, Bung santai," peringati mereka tegas.
Ia mencoba tenang. Mungkin ini rezekinya setelah sebulan beliau cuma menurunkan beberapa truk pasir dan kerikil koral.
"Cuma kakek tua. Malam ini beliau sendiri di rumah. Anak dan cucu-cucunya pergi ke Singapura, seminggu mereka di sana."
Memasuki halaman rumah yang bagus, salah seorang dengan mudah membuka pintu gerbang. Dia tampak tak absurd di rumah itu. Mereka lalu memakai topeng; topeng badut dan kera. Ia merasa jantungnya berdebar. Yang namanya merampok pasti tidak mudah.
Mereka turun. Tak lama kemudian terdengar keributan, dan beberapa kali bunyi letusan senjata. Lalu beberapa orang berlari ke kendaraan beroda empat membawa kopor dan tas. Lalu, mereka balik lagi ke dalam, kemudian kembali dengan menyeret sesosok tubuh bersimbah darah. Lelaki bertopeng kera.
Mobil melaju meninggalkan lokasi. Makian dan sumpah serapah berhamburan alasannya yaitu ada yang tertembak, sedang lelaki renta itu terpaksa ditinggal, tak jadi dikuburkan di rumahnya sendiri sesuai rencana setelah ia jadi mayat. Tapi, kini mereka repot harus menguburkan kawan sendiri di luar rencana. Mobil berputar- putar di dalam kota, tak tahu tujuan.
"Kita ke luar kota, di tol yang gres diresmikan nanti kendaraan beroda empat akal-akalan rusak, masuk ke semak-semak. Waktu putar balik turunkan penggali sama si mayat, terus kita ke jalur lagi, dan akal-akalan mogok," kata seseorang, dan mereka semua setuju.
Sampai di tol gelap, kecuali rambu-rambu yang berkilau dari kejauhan. Mobil zig-zag, menerobos alang-alang, masuk ke semak. Sebelum putar balik mereka berhenti. Ia membuka pintu, dan cepat melompat turun. Beberapa dari mereka mendorong jenazah keluar.
Ia menggali cepat di dalam semak di bawah cahaya bulan. Tanah lembek dan gembur membuat ia makin cepat bekerja bagaikan binatang tanah. Lubang cukup semoga amis jenazah tidak keluar.
***
Kini ia tak lagi menunggu di samping halte, berpindah jauh ke sebuah jalan di deretan penjual tanaman bunga dan batu- kerikil alam. Di seberang jalan ada gedung tak terpakai yang jikalau malam gelap ibarat rumah hantu, tapi di belakangnya ada toilet dan kran air yang mampu dipakai.
Sebuah kendaraan beroda empat berhenti. Taksi hitam berbadan besar. Kaca kendaraan beroda empat diturunkan. Dia memperhatikan wajah sopir taksi yang terlihat galau dan pucat; melambaikan tangan. Tanpa pikir panjang ia melesat.
Taksi berjalan tak tahu tujuan, berputar-putar di dalam kota. Tiba-tiba sopir taksi terisak menangis. Ia mendiamkannya saja. Itu bukan urusannya. Dia hanya menggali, terserah untuk apa. Dia gembira merasa menjadi episode penting orang-orang di kota ini.
"Istriku kedapatan selingkuh, saya membunuh selingkuhannya," isak sopir taksi itu. "Mayatnya ada di bagasi, saya tak tahu harus dicampakkan ke mana. Aku benci istriku, tapi saya sangat mencintainya…."
Ia mengusulkan ke luar kota, ke pinggir tol panjang yang gelap bersemak. Di sana tanahnya masih gembur. Sekejap saja mampu digali cukup dalam, dan dijamin jenazah tak akan dikorek binatang.
Taksi hitam meluncur kencang. Sehabis mengubur jenazah dengan berkeringat malam itu, mereka masuk lagi ke dalam kota, mampir di warung tepi jalan, menyeruput kopi, dan merokok dengan diam membisu.
***
Dia tak mampu pulang ke Sindang Laut walau sehari pun. Sopir taksi tak banyak memberinya uang. Ia setia meringkuk lagi di tepi jalan menunggu rezeki. Seseorang memanggilnya dari kendaraan berwarna putih bertuliskan klinik bersalin. Ia pun menyergap pekerjaannya dengan cepat.
Di kendaraan beroda empat beliau disambut seorang perempuan muda berpakaian suster. Ada bungkusan plastik di sampingnya. "Bantu kami," katanya.
Ia tak menjawab, tapi mencoba melirik bungkusan plastik.
Tak hingga setengah jam kendaraan beroda empat memasuki bedeng bangunan berpagar seng, gelap dan suram, tampaknya bangunan terbengkalai. Suster menyerahkan bungkusan.
"Apa ini?" terasa cuek di tangannya.
"Mereka belum siap punya anak," jawab perempuan itu acuh. Ia merasa belum paham dan mau bertanya lagi. "Ng...."
"Beberapa janin beku," jawab perempuan itu terpaksa.
Ia nyaris tersedak.
"Tempat apa ini?"
"Kantor cabang yang lagi dibangun."
Ia pun mulai menggali dengan cepat, gesit tanpa banyak kata. Orang-orang kota telah lama percaya mereka semua. Kota yang terlihat dari kejauhan bagaikan gurita raksasa bergerak di dasar lautan yang airnya hitam.
Tak hingga satu jam pekerjaannya selesai.
Kemarin beliau menguburkan jenazah orang-orang kejam saling bunuh, malam ini beliau tak menyangka menguburkan beberapa janin beku tak berdosa.
Ia hendak pulang kampung malam ini. Segepok uang sudah ada di tangan. Ia menunggu di pintu tol truk-truk kosong yang menuju Pantura untuk ditumpangi. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan kota ini. Tapi, seseorang melambaikan tangan dari dalam mobil. Ia berpikir, ambil tidak, ambil tidak. Tiba-tiba saja beliau melangkah menuju kendaraan beroda empat itu.
Mobil melaju cepat, dengan sesosok jenazah di dalamnya, yang terbujur kaku bersimbah darah segar….
Ganda Pekasih pernah bekerja menjadi editor Majalah Anita Cemerlang, pernah menjadi anggota PWI Jaya. Karya- karyanya dimuat Kompas, Republika, Jawa Pos. Saat ini berdomisili di Bogor
Redaksi mendapatkan kiriman naskah cerpen, tema bebas, diadaptasi dengan huruf detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com