Jakarta - Klobot Bogel meneleponku ke kantor, "Nini Guhi sakit," katanya pendek. Aku membisu sebentar dan mengatakan kepadanya bahwa saya akan segera pulang. Ia menutup sambungan telepon tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
Akhir-akhir ini saya begitu lelah. Aku bekerja tanpa henti mengumpulkan uang demi menikahi Nini Guhi. Seluruh anggota badanku terasa sakit dan pikiranku disesaki dengan hal-hal aneh, sehingga membuatku tidak dapat beristirahat dengan baik pada malam hari sebagaimana biasa. Situasi ini justru membuat semuanya menjadi lebih buruk serta memperparah kesehatanku, sakit di kepalaku, dan linu pada tulang-tulangku semakin buruk sehingga sangat mengganggu kerjaku. Semangat kerjaku kemudian menurun drastis, membuat atasanku terlihat agak kesal. Sudah beberapa kali ia telah menegurku tanpa rasa hormat serta terkesan angkuh.
Hari Jumat siang, sebelum berangkat salat, melalui sekretarisnya, atasanku menyuruhku datang ke ruang kerjanya. Di ruang kerjanya ia menanyaiku dengan beberapa pertanyaan yang kupikir sudah ia persiapkan dengan baik sebelum itu. Aku menjawab semua pertanyaan dengan jujur tanpa menyembunyikan satu apa pun. Saat kuutarakan semuanya, ia menyimak dalam raut muka tak percaya, seolah semuanya yang keluar dari mulutku ialah omong kosong semata. Dengan nada ketus ia menanyai keinginanku. Dan, saya menjawabnya singkat dengan nada tak dekat bahwa saya ingin mengambil cuti dalam beberapa minggu.
Ia membisu sesaat dan menatapku tajam ketika mendengar keinginanku tersebut. "Baiklah," katanya kemudian, "akan kuputuskan setelah selesai ibadah Jumat." Ia bangun dan meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan selamat siang padaku. Aku menyusulnya hingga di ruang tengah. Sebelum ia menuruni tangga menuju ke lantai bawah, ia sempat menengok ke arahku. Aku tetap dengan raut tak bersahabat, lalu ia pun pergi.
Pada dikala saya hendak kembali ke ruang kerjaku, seorang pelayan menegurku. Rupanya ia orang gres di kantorku. Ia seorang gadis belasan tahun, berpostur tidak terlalu tinggi, lekuk tubunya bagus, dan memiliki keramahan luar biasa. Ia memperlihatkan kopi kepadaku, sehingga dengan senang hati saya mengabulkan tawarannya. Beberapa dikala kemudian saya mendengar bunyi pintu diketok. Belum sempat saya menyilakan pelayan itu sudah berada di dalam ruangan. Ia meletakkan kopi di atas mejaku. Aku memperhatikannya tanpa kedip sehingga membuat ia sedikit kikuk oleh sorot mataku. Untuk menghilangkan rasa kikuknya, ia lalu berusaha menjeratku dengan senyum penuh gairah masa muda.
"Tuan Muda, itu kopinya," katanya dalam nada bunyi gadis dewasa yang manja. "Ada apa, Tuan Muda? Tuan terlihat pucat." Ia cukup berani, pikirku.
"Semuanya baik saja," kataku sambil berusaha menyertai kata-kataku dengan satu garis senyuman termanis yang mekar di ujung bibirku semoga tak membuatnya kecewa.
"Panggil saja Kamba. Arkian Kamba. Tolong jangan panggil saya dengan Tuan Muda." Ia tersenyum dan pamit diri meninggalkan ruang kerjaku. Aku mengawasi langkahnya hingga ke ambang pintu. Aku menyesap kopi yang gres saja disajikan sambil melanjutkan mengetik gosip untuk terbitan esok hari. Tak beberapa lama kemudian sakit pada tulang-tulangku semakin memburuk. Linu pada sendiku betul-betul membuatku sedikit khawatir. Aku menghentikan kegiatan mengetikku, dan menyandarkan tubuhku ke daerah duduk.
Tapi lapar kemudian menyerangku. Dengan menahan sakit, saya berusaha turun untuk mencari makan di warung makan terdekat dari kantor. Ketika hingga di halaman depan saya melihat rombongan besar pegawai kantor yang gres saja menyelesaikan ibadah Jumat berjalan di seberang jalan di depanku dari arah selatan menuju ke utara. Tentunya rombongan itu akan menuju rumah makan Cina. Aku melihat atasanku berjalan bersama seorang gadis muda mengagumkan di antara para rombongan. Karena asyik dalam percakapan dengan gadis muda itu, atasanku tak melihatku yang berdiri di depan halaman kantor.
Aku cepat-cepat menuju ke arah berlawanan dari para rombongan itu datang. Kuurungkan niatku untuk makan siang di rumah makan Cina yang semula telah masuk dalam rencanaku. Sudahlah, pikirku. Jika atasan mengizinkanku cuti, besok sebelum menuju Lamakura saya akan mampir ke daerah itu untuk menikmati sup herbal demi membantu staminaku sebelum menempuh perjalan jauh dengan kereta api pada malam harinya. Akhirnya, saya memutuskan makan roti bakar di kedai langgananku.
Matahari siang yang panas memperabukan kepalaku sepanjang perjalananku menuju ke kedai. Aku tiba di kedai dan mendapatkan kedai dalam keadaan tidak begitu ramai. Hanya ada tiga orang lelaki bertubuh kurus dengan jenggot tak terpotong rapi duduk mengelilingi satu meja. Aku masuk dan menempati satu meja kosong di dekat mereka. Kedatanganku tak mengecoh mereka. Mereka terus asyik dalam percakapan. Ketiganya berpenampilan nyaris sama, tak satu pun dari mereka mengenakan pakaian kasual terbaik miliknya, melainkan hanya kaos oblong, jeans, dan sepatu Nike yang nyaris sama keluaran terbaru. Sedikit perbedaan pada warna. Dari tanda pengenal yang tergantung di saku baju bab depan dapat kukenali mereka: wartawan.
Kepada pelayan saya memesan roti bakar keju dan susu jahe. Aku mengeluarkan kotak rokok dan menyulut sebatang. Sakit pada sendi dan tulangku kambuh sehingga membuat saya duduk dalam situasi teramat gelisah. Tubuhku menjadi lemah dan tak bertenaga. Kurasakan mual dan pucat pada wajahku. Tapi dengan segala upaya saya berusaha lebih tegar menghadapi sakit di sendi-sendiku. Sakit yang menyerang sewaktu-waktu mampu saja mengakhiri segala-galanya, pikirku. Aku mematikan rokokku dan perlahan semuanya menjadi sedikit lebih baik.
Pelayan muncul dengan membawa pesananku. Pada dikala yang bersamaan muncul dua perempuan dengan mengenakan seragam sebuah perusahaan media cetak. Satu di antaranya berkulit putih, berambut sedikit ikal, tinggi, dan memiliki dada yang menarik. Sedangkan yang lainnya sama sekali tidak masuk dalam kriteriaku. Keduanya bergabung dengan ketiga lelaki kurus yang tak simpatik itu. Percakapan mereka membuat bising di ruangan itu dan sangat mengganggu. Aku melahap hidanganku seolah tak mendengar apa yang mereka percakapkan.
Jarak yang begitu dekat dengan mereka membuat saya mampu menyimak dengan terang topik yang dipercakapkan; rencana liputan dan upah yang diberikan perusahaan. Salah satu lelaki kurus dengan kumis kecoklatan mengeluhkan upah yang tidak pantas dengan acara liputan yang padat dan nyaris tanpa libur. Namun, belum selesai ia bicara, perempuan yang tidak masuk dalam kriteriaku menyelanya. Ia berbicara soal beberapa surat kabar cetak yang bangkrut gara-gara tak mendapat iklan. Semuanya berlangsung begitu onar nyaris tanpa tata tertib.
Tak tahan oleh nada bunyi mereka yang semakin tinggi, saya berusaha melahap sisa rotiku dengan sedikit lebih cepat. Akhirnya tandas juga semuanya. Rasa mual dan pusing di kepalaku perlahan mulai berkurang. Aku memanggil pelayan dan membayar. Aku meninggalkan kedai dalam langkah yang tak tergesa-gesa, karena ngilu pada sendi-sendi tulangku sama sekali tak bersahabat. Di depan pintu keluar kedai saya masih mampu menyimak percakapan lima orang wartawan itu. Kali ini penuh semangat dan berapi-api. Aku berjalan menyisir pinggir rumah toko untuk menghindari terik matahari. Beberapa bengkel seni, sekolah musik, toko buku loak, dan pejaja koran di sebarang jalan tampak ramai oleh pengunjung.
Di depan ruang kerja atasanku ada sebuah sofa. Aku duduk di sana menunggu atasanku memanggilku untuk menyampaikan kebijaksanaannya terkait dengan seruan cutiku. Meski belum genap setahun, loyalitasku selama ini harus ia perhitungkan dengan baik. Jika tidak, izin cutiku akan tak dihiraukannya. Apalagi belakangan ini banyak kejadian yang harus diliput dan tak boleh luput dari mata media. Semuanya harus diawasi dengan baik demi menjalankan fungsi kontrol sosial terutama pada kebijakan kejaksaan dalam memutuskan perkara korupsi yang melibatkan beberapa pejabat negara. Kasus-kasus yang menumpuk mampu saja menghalangi izin cutiku.
Agak keterlaluan kalau atasanku hanya memperhitungkan kepentingan-kepentingan itu dan mengabaikan permintaanku serta kesehatanku. Rekan wartawan lain di kantor ini tentu saja mampu menggantikanku untuk menjalankan tugas-tugas itu. Meski pada umumnya mereka belum berpengalaman dalam meliput kasus-kasus besar yang berkaitan dengan hukum, bukan menjadi dalih yang pas untuk mengelak dari tugas. Mereka harus dilatih untuk memikul peran yang jauh lebih berat semoga mampu menjadi lebih baik. Harus dibebankan kepercayaan yang besar kepada mereka, dari cara bergaul dan berbicara dapat kusimpulkan bahwa mereka cukup cerdas untuk segala macam kasus. Aku memiliki keyakinan, mereka tentu sanggup, hanya saja kesempatan belum diberikan kepada mereka.
Sekretaris atasanku menepuk-nepuk pundakku membuat saya kaget dan terbagun. Aku tertidur, pikirku. Sekretaris muda itu membawa pesan dari atasanku bahwa saya diminta segera masuk ke ruangan kerjanya. Aku bangun dari dudukku menuju ke toilet. Kubasuh mukaku untuk menghilangkan bekas kantuk kemudian menyeka dengan sapu tangan. Di depan cermin saya berdiri cukup lama untuk melihat wajahku yang kurus, rambutku yang mulai memanjang, serta jenggotku tidak dalam keadaan rapi dan baik secara saksama. Aku merasa semakin yakin diriku akan bermetamorfosis lebih buruk kalau saya terus berada dalam tekanan kerja dengan imbalan rendah. Segala ketampananku telah direnggut oleh loyalitas.
Telah bertahun-tahun saya melatih diriku hanya demi uang dan pengalaman yang membuncit di dalam kepala, tapi selama itu pula saya tak menyadari sesuatu hal buruk telah mengikis tubuhku. Aku masih terlalu muda untuk mencicipi penyakit di sendi-sendi tulangku. Tubuhku yang lemah memudahkan virus-virus penyakit menggerogotinya. Waktu istirahat yang kurang rupanya menuai akhir begini buruk.
Aku meninggalkan toilet penuh ketidakpercayaan diri. Perubahan di raut mukaku ialah pemain film di balik semua ini. Sampai di depan pintu atasanku, saya menjadi semakin tidak percaya diri untuk menghadapinya. Tanganku gemetar dikala hendak mengetuk pintu ruang kerjanya. Tapi saya memberanikan diri, karena semuanya sudah dimulai. Nyaliku tak boleh kendur hanya karena kehilangan ketampanan. Atasanku menyilakan saya masuk setelah mendengar bunyi ketukan di pintunya.
Kami bercakap-cakap sebentar, dan akhirnya, di ujung percakapan ia mengizinkan saya cuti. Aku girang mendengar itu. Kebahagiaan yang berlangsung sangat sebentar. Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk, dari Klobot Bogel, "Nini meninggal dunia."
Cosmas Kopong Beda mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Jurnalistik Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta. Beberapa karyanya dimuat di Indo Pos, Kompas.com, dan Pos Kupang
Redaksi mendapatkan kiriman naskah cerpen, tema bebas, diubahsuaikan dengan huruf detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com